Selasa, 19 November 2013

Wakase Kampung "Terlupakan"

Papan Nama Raja/Sultan Yang Berkuasa di Buton
Secara pribadi dapat saya katakan bahwa tulisan ini, merupakan bagian kecil dari kisah perjalanan Buton pada masa lalu, dimana kita tau bahwa negri Buton adalah negri yang kaya akan adat istiadatnya. dalam hal ini, Wakase sebagai bagian dari Kerajaan Buton, eksistensinya pada masa lalu sangat di kenal sebagai salah satu daerah pemasok hasil pertanian di wilayah Kerajaan Buton. Oleh sebab itu, saya katakan bahwa Wakase adalah bagian kecil dari sejarah perjalanan Kerajaan Buton yang terlupakan, melalui kesempatan ini izinkan saya untuk berusaha menghadirkan tulisan ini, dengan harapan agar pembaca yang budiman dapat mengetahui keberadaan Wakase di kampung Patalimbona.

Jauh dibukit Sampolawa, tepatnya di wilayah Kerajaan Wawoangi berdiri sebuah perkampungan yang kemudian di sebut perkampungan Patalimbona, di Wakase. Pada masa pemerintahan  Raja Mulae raja buton ke V yang memerintah pada akhir abad ke XIV, Wakase selalu dijadikan sebagai tempat persinggahan sang raja dalam segala aktifitas perburuannya. Karena letaknya yang tepat dibelakang pusat pemerintahan kerajaan di wolio, menjadikan Wakase ini, sebagai tempat yang nyaman untuk sekedar berburu satwa mulai dari burung hingga ayam hutan (Manu Ko'o).

Masyarakat asli yang mendiami Wakase adalah masyoritas berprofesi sebagai petani, mulai dari petani padi ladang, umbi-umbian, hingga pisang dan sayuran. dalam kesehariannya masyarakat setempat menggunakan bahasa cia-cia dan bahasa wolio sebagai bahasa pemersatu, boleh dibilang Wakase ini adalah daerah persinggahan bagi masyarakat di wolio yang ingin ke lapandewa, burangasi atau bahkan ke wabula. 

Ilustrasi : Perangkat Kesultanan Buton Pada Sail Indonesia Komodo 2013 di Kota Pasarwao
Atau jika orang dari wolio ingin melakukan perjalanan ke lapandewa dengan berjalan kaki, secara otomatis harus berhenti di Wakase untuk beristrahat sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yakni di Lapandewa, Burangasi atau bahkan ke Wabula. Begitu sangat stategisnya Wakase, hingga akhirnya perkampunagan ini dijadikan sebagai tempat pengasingan bagi para punggawa Kerajaan Buton yang dihukum atas berbagai kesalahan yang dilakukan.

Alkisah diceritakan 4 orang punggawa Kesultanan Buton yang bernama, Wadhiwao, Cicinandoke, Mbhamarambe, dan Labukutorende tiba-tiba diasingkan ke Wakase karena kesalahan mereka menahan sahabat sang raja yang di kenalnya di daerah Wakase saat sang raja berburu. Maksud kedatangan dari sahabat tersebut, ingin menemui sang raja diistana sekaligus membawakan hasil panen untuk sang raja. 

Hanya karena sahabat Raja tersebut menyebut nama asli dari pada Sang Raja, pada akhirnya ke empat punggawa kerajaan tersebut, tiba-tiba menyandera tamu sang raja, hingga akhirnya singkat cerita atas kesalahan nya itu, keempat punggawa Kerajaan Buton tersebut langsung diasingkan ke Wakase. Pada akhirnya keempat punggawa Kerajaan Buton itu, membentuk empat perkampungan yang di sebut Patalimbona.

1. Patalimbona  (Wakase, Wakahau, Bungi, dan Kawukawu)

Di daerah pengasingan tersebut, Wadhiwao beserta keluargannya mendiami perkampungan di wilayah Wakase, Mbhamarambe beserta keluarga mendiami wilayah Kawukawu, sedangkan Cicinandoke mendiami daerah Wakahau serta Labukutorende mendiami wilayah Bungi. Itulah yang menyebabkan Wakase pecah menjadi 4 perkampungan hingga disebut sebagai Patalimbona (Pata berarti empat dan Limbo berarti Kampung). 

Saat Penulis Berada di Salah Satu Sudut Kota Pasarwajo
Kehidupan yang harus terus berjalan menuntut keempat punggawa Kerajaan Buton tersebut, untuk betah dan berdiam di perkampungan patalimbona. Tentunya semua itu, karena didukung oleh tanahnya yang subur dan sangat cocok utuk di tanami segala jenis tanaman. Dapat penulis gambarkan berdasarkan wawancara dengan masyarakat asli Wakase dikatakan bahwa perkampungan Patalimbona tersebut terdapat sebuah Mata Air yang sangat jernih bermana Mata Air Waymata. Dengan kata lain Waymata adalah merupakan sumber utama bagi kehidupan masyrakat yang berdiam di Patalimbona.

Mata air Waymata sebagai mana dikatakan oleh salah seorang warga keturunan Wakase yang berdiam di Kota Baubau La Dhidu (62), adalah sebuah Danau yang jernih dengan jutaan ikan serta udang yang hidup di dalamnya yang pada akhinrya dirinya dapat menggambarkan betapa jernihnya Mata Waymata "Mata Air Waymata itu, sangat dingin, ada banyak ikan, udang, dan belut hidup didalamnya," ujarnya sambil menambahkan Rombongan raja yang berburu selalu beristrahat di Weymata selepas berburu.

2. Keberadaan Masyarakat Wakase Saat Ini

Saat ini, keberadaan kampung Wakase, bagaikan menghilang di telan bumi. Kampung yang sejatinya berada diatas bukit kampung lama Saumulewa itu menjadi terlupakan akibat ditinggalkan oleh penghuninya. Penghuni kampung Patalimbona dipaksa meninggalkan kampung wakase dikarenakan  adanya Resetlemen dari pemerintah bahwa seluruh perkampungan yang ada di gunung harus turun dan bermukim yang dekat dengan Jalan Raya. Sementara itu, lokasi jalan raya yang dibangun oleh pemerintah saat itu, sangatlah jauh karena harus melawati bukit pegunungan untuk dapat mencapai jalan raya.

Ilustrasi : Aksi Sang Penari Yang Mengagumkan
Belum lagi sesampainya dijalan raya masyarakat Wakase harus memulai kehidupan yang  baru, butuh perjuangan yang penuh liku untuk dapat bertahan hidup pada saat itu. "Perbandingannya dari wakase ke jalan raya memakan waktu satu hari sedangkan dari wakase ke wolio hanya setengah hari, berjalan kaki" ujar La Dhidu sambil menambahkan dari wakase ke wolio jika berangkat selesai magrib maka tiba pash shalat subuh sedangkan dari wakase menuju jalan raya nanti pada saat dzuhur baru sampai.

Kita Tau bahwa jika masyarakat Wakase harus meninggalkanmakan Patalimbona secara otomatis, mereka akan kehilangan sumber kehidupannnya. Olehnya itu di Bawah Pimpinan Seorang Imam Masjid Patalimbona sebagian besar masyarakat Patalimbona Kembali dan meneruskan kehidupan di tanah wolio, pertama kali warga patalimbona tiba di wolio adalah di Tanganapada, Yang pada akhirnya imam masjid Wakase diangkat menjadi imam di Masjid Tanganapada.

Wakase dengan sejuta kekayaan alam di dalamnya membuatnya harus dilupakan oleh zaman, betapa tidak kawan. apa yang menjadi harpan masyrakat Wakase di kampung Patalimbona itu, hanya menjadi sebuah catatan bahwa negri yang sangat subur itu, harus di tinggalkan oleh penghuninya hanya karena kebijakan pemerintah yang sepihak. Oleh karenanya saya yakin hingga saat ini kekayaan alam wakase belum pernah terjamah karena wilayahnya yang sangat jauh berada di kaki bukit Saumulewa.

3. Warga Wakase Terpisah Karena Keadaan

Ilustrasi : Peserta Sail Indonesia Komodo 2013 di Kota Pasarwajo
Situasi yang terjadi saat itu, memaksa seluruh warga yang mendiami kampung Patalimbona harus berjibaku berpikir keras untuk dapat hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar. Perlahan namun pasti, berangsur-angsur warga yang mendiami Wakase kampung Patalimbona menghilang dan pergi. Konon kabarnya banyak diantara masyrakatnya hijrah hingga ke Pasarwajo, Sampolawa, Saumolewa, Todombulu, Lapandewa, bahkan ke Wolio, Maluku, Kalimantan, hingga ke pulau Jawa.

Di tahan Wolio, Bersama rombongan imam masjid Wakase, masyrakat  Patalimbona menetap hingga saat sekarang di kelurahan Tanganapada Kecamatan Murhum Kota Baubau. Sedangkan di Pasarwajo menetap di Kelurahan Kawu-Kawu Kecamatan Pasarwajo, di Lapandewa warga Patalimbona menetap di Desa Kaindea Kecamatan Lapandewa, di Sampolawa warga Patalimbona menetap di Saumolewa hingga di Todombulu, serta di Burangasi.

Hingga saat ini warga Patalimbona yang ada di Wolio, masih percaya bahwa Wakase adalah bagian dari sejarah Kerajaan Buton yang terlupakan. Betapa tidak kawan keberadaan masyrakat Wakase Kampung Patalimbona menadi simbol betapa eksistensi masyrakatnya hingga saat ini masih memengang teguh amanat dan pesan para petuah yang ada di Wakase kampung Patalimbona, hingga akhirnya enjadi sebuah pelajaran panjang bagi kita semua, bahwa keputusan yang sepihak mampu membuat suatu kaum terpecah belah.

Oleh karena itu, perlu penulis tekankan disini bahwa, akibat dari pengambilan keputusan yang sepihak tersebit sangat mampu menghancurkan sebuah peradaban masyarakat yang telah lama di bangun dan telah menemukan kembali jatidiri masyarakat wakase. Tentunya disini saya secara pribadi, menegaskan sekali lagi bahwa pelajaran yang diambil dari tulisan ini adalah, bahwa pemerintah seyogyanya mampu mengambil keputusan yang seimbang dengan berdasar pada pertimbangan yang matang bukan karena kepentingan sepihak. 

Voril Marpap 19-11-'13