Selasa, 16 Juni 2015

Merajut Asa, Menuai Harapan IV


Guru Guru MIS Nafi'u

 Untuk itu, tak kala dirinya harus membagi penghasilan yang diperoleh, maka dengan tegas dirinya menyampaikan kepada istri dan anak-anaknya bahwa, “ inilah pengabdian, jika diuangkan pengabdian itu sangatlah mahal harganya, kita belum menikmati hasilnya sekarang tetapi suatu saat nanti, saya yakin pasti akan kita petik hasil dari pengabdian itu, dan yang paling penting lagi disini adalah ketika kita berfikir uang, maka yang kita dapat juga adalah uang, sedangkan ketika kita berfikir bagaimana selalu memberikan kebaikan dan manfaat, maka semua apa yang kita inginkan dan butuhkan akan didapat, “ katanya dengan penuh rasa optimis.

Gedung 1
Amrun dengan penuh semangat kembali mengingat cara-cara sederhana yang dilakukan pada saat membagi penghasilan yang diperoleh saat itu, “ Kalau saya berurusan di Baubau, saya tanya kepada istri saya, ada uangmu?, istrisaya menjawab ada 20 ribu!, kemudian saya suruh pergi tukar dulu lalu saya bagi, 10 ribu untuk ongkos bensin saya dan 10 ribu untuk uang ikan dirumah, “ kenangnya setelah itu, sampai di Baubau baru mulai lagi mencari pinjaman kesana kemari. 

Amrun memiliki prinsip bahwa ketika yang ditabur adalah benih kebaikan maka akan menuai banyak kebaikan pula yang menjadi penopang dari kebaikan itu, adalah kesabaran kejujuran serta keikhlasan dalam berbuat. Hanya berbekal menanam benih kebaikan Amrun, merasa segala urusannya di permudah oleh Allah SWT mulai dari meperoleh motor hingga rumah keduanya diperolah dari menyicil, “ alhamdulilah rumah ini sudah 3 tahun saya menyicil, 

Gedung 2
“ ungkapnya dengan senyuman. Yang sangat ia syukuri lagi bahwa, selama dirinya berjuang di pulau Buton hingga mendirikan madrasah ini segala macam tanngan dan ujian berlalu dengan tanpa disadari. Karena saat ini ketujuh dewan guru yang sejak awal pendirian madrasah ini tidak diberi honor kini telah diberi honor sejumlah 250.000 perbulan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan 4 orang pengajar mendapatkan kesempatan melanjutkan penidikan strata 1 melalu Universitas Terbuka secara gratis serta siswa  yang belajar pun memperolah beasiswa Bantuan Siswa Miskin (BSM). Hal tersebut diakui Amrun sangat berguna bagi rekan rekan guru dan siswa yang megajar dan belajar di MIS Nafi’u.

Gedung 3
Adapun, mereka yang mengajar di MIS Nafi’u yakni Juhartin, S.pd lahir di Lasalimu 23 Januari 1987 (Kepala Madrasah), Tahir lahir di masaloka 31 Desember 1979, Rosmini Nuru lahir di lianabanggai 22 Februari 1977, Muhammad Halil lahir di Ambon 12 Oktober 1087, Muhsan lahir di gunung telawek 31 Desember 1989, Isra lahir di kinapani 26 januari 1991 dan yang terakhir adalah Hakiah lahir di Nyerorot pada tanggal 31 desember 1994 yang kesemuanya bertugas sebagai guru kelas sekaligus bertinak sebagai wali kelas . Berdasarkan data kepegawaian yayasan, 4 orang dewan guru diangkat sebagai pegawai tetap yayasan pada tahun 2009 (sejak awal pendirian madrasah) setelah itu kemudian mengangkat lagi 1 orang pada tahun 2012 sementara kepala madrasah telah diangkat sebagai guru non PNS sejak tahun 2006.

Para siswa/siswi yang menempuh pendidikan di MIS Nafi’u berdasarkan data Mis Nafiu pada semester genap tahun pelajaran 2014/2015 berjumlah 59 siswa/siswi. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut, untuk siswa kelas I berjumlah 7 orang 3 laiki-laki dan 4 perempuan. Kelas II berjumlah 8 orang terdiri dari 1 laki-laki 7 perempuan. Kelas III berjumlah 11 orang terdiri dari 7 laki-laki 4 perempuan. Kelas IV berjumlah 6 orang terdiri dari 3 laki-laki 4 perempuan. Kelas V berjumlah 9 orang siwa 5 laki-laki 4 perempuan. Dan terakhir kelas VI sekaligus yang akan mengikuti ujian nasional berjumlah 17 orang dengan rincian 10 laki-laki dan 8 perempuan.

Tamat




Selasa, 09 Juni 2015

Merajut Asa Menuai Harapan III


Siswa Kelas I
Dikota Baubau ia melanjutkan study di Universitas Dayanu Ikhsanuddin jurusan Administrasi Negara dan tinggal dikediamannya Pak Aziz yang juga pengurus masjid raya Kota Baubau. Dirinya mengaku bahwa Pak Azis merupakan salah satu inspirator didalam kehidupannnya, satu hal yang tidak pernah ia lupakan dari pak Azis adalah tekadnya yang kuat pada saat merehabilitasi masjid raya Kota Baubau, “ ketika itu beliau beliau berkata, kalau ada uang kita membangun jangankan kita biar anak sd bisa membangun, yang jadi persoalan sesungguhnya aadalah bagaimana kita membangun sesuatu dari tidak ada menjadi ada itulah prestasi,  maka itulah yag menajdi inspiraasi saya dalam mewujudkan pembangunan MIS Nafi’u dari tidak ada menjadi ada dan alhamdulilah Allah SWT memudahkan semuanya, “ katanya.

Siswa Kelas II
Saat ini Amrun tinggal bersama istri dan 4 orang anaknya di Desa Lasalimu, Kecamatan Lasalimu Selatan, kabupaten Buton, ia juga tercatat sebagai guru honorer di MTS Lasalimu, alur kehidupan yang dijalani sungguh penuh dengan perjuangan, yakni kewajiban menafkahi keluarga serta tantangan untuk membangun sebuah madrasah di pedalaman Wa Pe’u. Sebagai guru honor penghasilan yang diperoleh Amrun tidaklah seberapa ketika itu, ia harus berhadapan dengan bagaimana sulitnya membagi penghasilan antara memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan sekolah, “tetapi alhamdulilah semua dapat dilalui dengan baik berkat rezeki dari Allah SWT, “ ujarnya. 

Dalam upaya menghadirkan Mis Nafi’u dari tidak ada menjadi ada, bukanlah hal yang mudah. Karena dirinya harus berhadapan dengan cibiran dan hinaan dari masyrakat setempat yang sangat menguras emosi. “ Dulu banyak orang yang mengatakan bahwa madrasah kami ini ilegal, sehingga orang tua salah seorang guru saat itu menangis karena tidak sanggup menahan tekanan dari luar, “ ujarnya sambil menambahkan dengan hinaan dan cibiran tersebut diriya menjadi semakin termotivasasi untuk memperkuat tegagaknya tiang penyangga Mis Nafi’u. 

Siswa Kelas III
“Seandainya orang itu memberikan saya uang lalu disuruh membuat sekolah, itu merupakan beban moral yang sangat luar biasa karena saya malu kalau apa yang menjadi harapannya itu tidak kesampaian tetapi jika dihina dan tidak diberi apa-apa itulah yang membuat saya semakin meningkatkan kekuatan demi mewujudkan madrasah ini, “ Kenang Amrun yang juga telah mengambil akta IV agar dapat menjadi guru lalu mengajar. Kemudian lanjut ia, mengatakan “ sesungguhnya orang-orang di pedalaman Wa Peu orangnya cerdas-cerdas karena rata-tara  yang selalu berprestasi di MIN 1 Buton itu, rata-rata dari sana, “ Ujarnya.

Siswa Kela V
Dirinyapun harus merasakan pertentangan batin yang sangat luar biasa, karena semua yang terjadi pada saat itu sangatlah menguras pemikiran dan emosi dihatinya. Hanyalah kesabaran, keikhlasan dan kejujuran lah yang menjadi tameng dalam menghadapi segala macam tantangan, sembari tetap berdoa dan berusaha demi mengharap ridho dari Allah SWT sehingga kiranya, dirinya dapat diberi kemudahan dalam rangka mewujudkan cita-cita mulia bahwa mereka harus mampu keluar dari kemiskinan dan kebodohan agar dapat bermanfaat bagi sesama.

BErsambung....

Minggu, 07 Juni 2015

Merajut Asa Menuai Harapan II


Siswa dan Guru

Kemudian lanjut Amrun kembali menjelaskan “ yang saya salut dari teman-teman dewan guru yang mengajar di situ, mereka semua mau bantu mengajar, Walaupun dengan pendidikan SMA mereka sangat antusias, “ kenangnya. Selang satu tahun berjalan persoalan baru akhirnya muncul, yakni bagaimana caranya untuk menggaji guru yang telah bersusah payah mengajar anak-anak, saat itu sempat muncul inisiafif untuk meminta bantuan orang tua tetapi dengan tegas para guru menolak inisiatif tersebut sambil berkata, “ Pak kalau kita mau meminta orang tua siswa lebih baik kami berenti saja mengajar, “ tegas salah seorang guru pada saat itu. 
Anak2 Wape'u

Mulai saat itu, Amrun semakin semangat dan bertekad untuk mengembangkan Madrasah Ibtidaiyah Nafi’u. Satu hal yang menjadi penguat rasa optimisme disini adaah kalau ketua yayasan tidak memberi honor, maka guru-guru akan menuntutdan berhenti mengajar tetapi disini, situasi tersebut terbalik,  walaupun tanpa adanya honor,guru-guru di MIS Nafi’u akan tetap terus mengajar, Alasannya adalah mereka paham betul tentang kondisi masyarakat di pedalaman Wa Pe’u, “ kondisi masyarakatnya, kalaupun mungkin satu hari mereka makan nasi, makan ikan baru kita mau bebani lagi masyarakt dengan biaya pendidikan, guru-guru tidak sanggup menerimannya, “ Kenang amrun sambil menambahkan hanya kesedian dan air mata sebagai penghapus segala derita.

Kerja Bakti
Tanpa sadar, Amrun dengan menitihkan air matanya, pun mengisahkan perjalanan hidupnya sejak dari tanah kelahirannyadi Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat, hingga ia terdampar di Pulau Buton Propinsi Sulawesi Tenggara. Ia terlahir di Selaweh 38 tahun yang  lalu tepatnya pada tanggal 31 Desember 1977.dirinyabukan berasal dari keluarga berada melainkan berasal dari keluarga yang tidak berada “ ketika saya melihat keluarga saya, kami 7 orang bersauara,  dari kecil saya sudah ditinggal bapaksaya merantau di Malaysia, yang menghidupi kami sekaluarga adalah hasil dari kerajinan tangan membuat topi petani, “ kenang Amrun sambil menambahkan, hanya satu yang mampu membuat dirinya keluar dari masalah kemiskinan yaitu melalui pendidikan, oleh karenanya ia menegaskan bahwa pendidikan itu sangatlah penting demi masa depan yang lebih baik.

Siswa/Siswi MIS Nafi'u
Kemudian Amrun bercerita tentang awal mula dirinya terdampar di Pulau Buton, dirinyamengisahkan sejarah perjuangannya di tanah Buton, “ ketika saya mempuh pendidikan dipondok pesantren nahdatul waton, saat itu saya mengikuti kegiatan safari ramadhan di kendari, hingga akhirya saya mengetahui dari dekat Propinsi Sulawesi Tenggara, “ ujarnya. Akhirya lanjut Amrun, ia melakukan shalat istiqarah memohon petunjuk sekiranya diberikan kemudahan dalam menentukan pilihan hidup nantinya. “ Saat itu, bekal saya hanya 150.000 rupiah, ketika saya beli tiket, uang nya hanya cukup untuk sampai di Kota Baubau, dan akhirnya saya memutuskan untuk berhenti dan melanjutkan perjuangan di Kota Baubau, “ kenangnya.

Bersambung...

Merajut Asa Menuai Harapan



Akses Jembatan Yang di Lalui Menuju Pedalaman Wa Pe'u
Merajut asa menuai harapan adalah kisah sekelompok pemuda/pemudi yang diprakarsai oleh Amrun, S.Sos sekaligus bertindak sebagai pembina yayasan, bersama 7 orang rekannya, bekerja keras sepenuh hati, untuk menghadirkan generasi terdidik yang sadar akan pentingnya pendidikan dengan berusaha mengembangkan sebuah madrasah (setingkat sekolah dasar) yang di berinama Madrasah Ibtidaiyah Swastra Nafi’u (MIS Nafi’u)  didaerah pedalaman Wa Pe’u Desa Lasalimu Kecamatan Lasalimu Selatan Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara.Hebatnya adalah bahwa, orang orang tersebut bukan orang yang berada melainkan orang yang tidak berkecukupan tapi mampu mendirikan dan mengembangkan sebuah madrasah di daerah pedalaman.

Pelabuhan Lasalimu Pantai
Kata Nafi’u diambil dari kata Nafa’a artinya memberi manfaat. Dahulu orang orang di Desa Lasalimu menyembut masyarakat di pedalaman Wa Pe’u sebagai orang orang Pe’i artinya tempatnya orang-orang bodoh dan tidak terdidik. Atas kesan itulah mereka ingin merubah imej tersebut dari orang-orang Pe’i menjadi orang-orang Nafa’a, “Sebenarnya asal kata dari Wa Pe’u itu Pe’i artinya bodoh maka setelah kami masuk dan mendirikan madrasah, maka kami tidak ingin menjadi Pe’i lagi melainkan kami harus menjadi orang-orang yang Nafi’un yakni orang-orang yang selalu bermanfaat, “ Ujar Amrunsaat diinterview, sambil menambahkan itulah yang menjadi alasan sehingga madrasah tersebut diberi nama MIS Nafi’u.

Madrasah ini, berada dibawah kendali Yayasan Pendidikan Darunnajwa Wazziadah, yangdibentuk pada tahun 2009 berdasarkan akta otaris Nursamsyi S.H,MKn Nomor 16. Kemudian sesuai dengan surat keputusan kepala Kementrian Agama Kabupaten Buton, tertanggal 3 September 2012 Mis Nafi’u telah resmi beroperasi berdasarkan SK izin operasional no 8 tahun 2012.MIS Nafi’u juga telah memiliki Nomor Statistik Madrasah dan Nomor Pokok Sekolah Nasional yakni 111274040011 dan 60727194. Status Kelompok Kerja Madrasah (KKM) MIS Nafi’u tercatat sebagai anggota dari MIN 1 Buton yang telah memiliki Komite Madrasah sendiri.Yang bertindak sebagai kepala MIS Nafi’u dipimpin oleh seorang wanita yang juga istri sang ketua yayasan bernama Juhartin, S.pd.
Akses Masuk Pedalaman Wa Pe'u
MIS Nafi’u berdiri di sebuah lahan yang juga merupakan hasil hibah dari masyarakat adat setempat dengan ukuran kurang lebih 1 hektar(1.000 m­eter persegi). Saat ini, MIS Nafi’u memiliki 3 buah bangunan yang terdiri dari 1 bangunan permanen (tembok), 1 bangunan papan dan 1 bangunan dari ayaman bambu (jelajah). Bagunan permanen di tempati oleh siswa kelas V dan VI sedangkan bangunan papan ditempati oleh kelas III dan IV lalu kemudian bangunan jelajah ditempati oleh kelas I dan II.Uniknya, hingga saat ini MIS Nafi’u tidak memiliki kantor kepala sekolah mapun dewan guru,“ kami selalu berkantor di bawah pohon, “ ujar Amrun yang ditemui di kediamannya. Keinginannya mendirikan madrasah di daerah pedalaman tersebut, lanjut Amrun bermula saat dirinya bertemu sekumpulan anak-anak kecil yang tidak bersekolah, “ Saya melihat ada banyak anak-anak yang berkeliaran dijalanan, kemudian saya tanya kenapa tidak sekolah, anak akan tersebut tidak ada yang menjawab, “ jelasnya

Melihat anak-anak tersebut tidak menjawab pertanyaanya, akhirnya ia berinisiatif untuk menanyakan kepada sanak keluarganya di rumah. “ ternyata begitu setelah saya cek, satu keluarga tidak ada yang sekolah, ada juga yang sekolah tapi tidak sampai di sekolah “ terangnya. Hal tersebut membuat dirinya terenyuh, oleh karenanya mulai saat itu, Amrun merasa termotivasi dan memiliki rasa penasaran yang besar mengapa sehingga orang-orang di pedalaman Wa Pe’u ini tidak ada yang bersekolah.Setelah dirinya mencari tau terungkaplah sebuah fakta mengejutkan bahwa masyarakat Wa Pe’u sebagian besar tinggal di gunung sambil berkebun. Masalanya adalah temapat tinggal masyarakat Wa Pe’usangat jauh dari akses pendidikan (MIN 1 Buton) kurang lebih8 km. Mengetahui fakta-takta tersebut kemudian ia berinisiatif mengunjungi danbersitaturahim bersama tokoh masyarakat dan tokoh adat setempat untuk mendiskusikan keinginannya mendirikan sebuah madrasah di daerah Wa Pe’u.

Kampung Pedalaman Wa Pe'u
“Saya langsung bermusyawarah dengan masyarakat setempat, bagaimana kalau kita dirikan sebuah madrasah? Alhmadulilah mereka semua sepakat, membangun sebuah madrasah di daerah pedalaman Wa Pe’u ” terangnya. Kemudian dari kesepakatan tersebut munculah sebuah persoalan baru yakni dimana mereka akan melakukan proses belajar mengajar, sementara ruangan kelas dan tempat untuk menuntut ilmu tidak ada, kemudian dengan penuh rasa optimis dirinya berusaha menyakinkan seluruh elemen masyarakat setempatdan  berkata, “Dimanapun kita belajar entah itu dibawah pohon ataupun di lapangan, yang penting anak-anak mau utuk belajar itulah yang terpenting, “ Kenangnya.

Bersambung...