Selasa, 15 Maret 2016

Sekolah Tingkat Pertama

Ilustrasi
KETIKA Remaja Rusly tinggal di Dusun Waisapa, lalu tidak lama kemudian dusun tersebut berganti nama menjadi Dusun Waitibu. Tepat pada tahun 1992, ia dan keluarga besarnya memutuskan untuk pindah tempat tinggal dari Dusun Waihenaia Ke Dusun Simelu Desa Sepa Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah tepatnya di KM7 melalui program transmigrasi spontan.
Ia pun, menempuh pendidikan tingkat pertama di Madrasah Tsanawiah Nadin Ulum Saparua selama 1 triwulan (3bulan). Saat itu mereka masuk sekolah sekaligus tiga orang yakni Rusly, Udin dan Arat. Udin langsung diterima masuk di kelas tiga sedangkan Rusly dan Arfat masuk  dari kelas satu.
Ketika hendak mengikuti kegiatan penataran P4 (orientasi siswa), siswa Madrasah Tsanawiah Nadin Ulum Saparua, harus bergabung bersama siswa/siswi dari SMP 4 Siri Sori Amalatu. Mengikuti orientasi, membuat ia merasa senang, karena banyak ilmu dan pengalaman yang diperoleh selama kegiatan berlangsung.
TIdak jarang ia selalu tersenyum mengingat masa itu, materi baris berbaris adalah satu-satunya materi yang mampu membuatnya kewalahan. Iapun mengakui, dari dulu hingga sekarang, ia tidak pernah tau bagaimana peraturan baris berbaris yang benar.
Masalahnya adalah ia selalu salah dalam melakukan gerak langkah, ketika diberi aba-aba untuk melangkah, harus dimulai dengan kaki kiri, secara otomatis harus diikuti dengan ayunan tangan kanan, begitupun sebaliknya.
Lantaran sering bingung, akibatnya ia selau salah dalam memulai langkahnya. Ia selalu bergerak menggunakan kaki kiri dan tangan kiri sebagai pengikutnya, hingga akhirnya ia selalu ditertawakan oleh kawan-kawannyakarena tidak sesuai kaidah dalam peraturan baris berbaris.
Setelah masa orientasi siswa selesai, maka siswa Madrasah yang hanya berjumlah tiga orang itu, kembali bersekolah dan menempuh pendidikan pada tingkat pertama. Karena Madrasah Tsanawiah Nadin Ulum Saparua belum memiliki gedung, akhirnya mereka meminjam gedung Madrasah Ibtidaiyah Negri pada saat siang hingga sore hari.
Saat bersekolah di Madrasah Tsanawiah Nadin Ulum Saparua, ia sangat terkesan dengan ungkapan salah seorang gurunya, yang bernama Pak guru kapuale, bahwa beliau mengatakan arti dari matematika itu adalah mata, telinga, dan kepala, ketika membahas matermatika ketiga unsur itu harus saling berkolaborasi satu sama lain. Ungkapan itu, ia masih ingat sehinggga ia merasa kagum dengan gurunya itu.
Di Madrasah Tsanawiah Nadin Ulum Saparua, ia juga belajar bahasa arab barasanji. Adapun kenangan yang sangat membekas didalam dirinya hingga saat ini adalah, ketika ia berjumpa seorang wanita yang bernama Anawai, itulah cinta pada pendangan pertamanya, ia pun mengakui kebersamaan yang terjalin sangat menyita hati dan perasaannya walaupun dapa akhirnya ia memutuskan untuk berhenti di Madrasah Tsanawiah Nadin Ulum Saparua
Saat itu ia merasa harapannya telah putus Karena tidak dapat melanjutkan pendidikan di tingkat pertama, karena hanya tinggal sendiri yang bersekolah, kedua rekannya itu sudah tidak bersekola lagi.  
Namun didalam hatinya berkata suatu kelak ia akan kembali menempuh pendidikan lagi. Ketika itu, ia menghiasai masa menggagurnya dengan menjerat burung maleo dihutan, lantaran keseringan di hutan akhirnya ia terkena penyakit malaria yang pada saat itu, sempat membuatnya kewalahan.
Program transmigrasi spontan yang diikuti keluarganya, memberikan fasilitas rumah dan tanah 2 hektar untuk dikelola menjadi kebun ataupun sawah. Ditanahlah itulah ia berusaha menaman banyak tanaman jangka panjang sepeti jambu, kelapa hibrida, jambu biji, durian, hingga rambutan.
Tak putus asa, iapun hijrah ke Kota Masohi untuk berjuang demi memperoleh uang. DIsana ia tinggal bersama pamannya (saudara ayahnya). Karena sepupunya bekerja sebagai supir maka untuk memenuhi kebutuhannya iapun membantu sepupunya dengan menjadi helper, untuk memperoleh tambahan penghasilan.
Akhirnya tepat pada tahun 1993 ia kembali melanjutkan pendidikan di SMP terbuka Waitibu, melalui seorang bapak guru pamong yang bernama La Musi. Itupn atas arahan dan petunjung paman La Sudin, yang prihatin melihat kondisinya. Akhrinya ia menempuh pendidikan di SMP terbuka masohi namun kabar baiknya adalah ia langsung diterima dan masuk ke kelas II.
Belajar di SMP terbuka dilakukan secara bersama-sama. Dari kelas satu hingga kelas III mereka semua belajar bersama dalam satu ruangan. Ia mengaku sangat senang menempuh pendidikan di SMP terbuka. Mereka diberi fasilitas berupa buku tulis dan buku bacaan yang diberika secara gratis untuk dijadika sebagai referensi.
Selama bersekolah di SMP terbuka Waitibu, ia sangat rajin belajar walaupun Gedung sekolahnya masih menggunakan  gedung pinjaman dari gedung SD Impres Waitibu, ia  tidak pernah menyianyiakan waktunya. Ketika pagi hari ia membantu neneknya di kebun dan pada saat siang sampe sore hari ia kesekolah begitu seterusnya.
Setiap akhri semester, semua siswa SMP Terbuka di kumpulkan di kantor pusat yang bermarkas di SMP Negri Kairatu. Ketika semester akhir, iapun akhirnya memiliki buku raport yang didalamnya telah berisikan daftar nilai kelas 2 sedangkan lembaran sebelumnya seharusnya berisi daftar nilai kelas 1 menadi kosong. 
Ia selalu bangga  ketika bersekolahh di SMP Terbuka, karena ia termaksud siswa berprestasi. Hingga pada akhirnya ia menamatkan pendidikannya di SMP terbuka dan berhasil menyabat predikat siswa terbaik. Setelah selesai menempuh pendidikan tinggat pertama di SMP Terbuka, maka sudah waktunya melanjutkan kejenjang berikutnya