KETIKA Remaja
Rusly tinggal di Dusun Waisapa, lalu tidak lama kemudian dusun tersebut berganti
nama menjadi Dusun Waitibu. Tepat pada tahun 1992, ia dan keluarga besarnya memutuskan
untuk pindah tempat tinggal dari Dusun Waihenaia Ke Dusun Simelu Desa Sepa
Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah tepatnya di KM7 melalui program
transmigrasi spontan.
Ia pun,
menempuh pendidikan tingkat pertama di Madrasah Tsanawiah Nadin Ulum Saparua
selama 1 triwulan (3bulan). Saat itu mereka masuk sekolah sekaligus tiga orang
yakni Rusly, Udin dan Arat. Udin langsung diterima masuk di kelas tiga
sedangkan Rusly dan Arfat masuk dari
kelas satu.
Ketika hendak
mengikuti kegiatan penataran P4 (orientasi siswa), siswa Madrasah Tsanawiah
Nadin Ulum Saparua, harus bergabung bersama siswa/siswi dari SMP 4 Siri Sori
Amalatu. Mengikuti orientasi, membuat ia merasa senang, karena banyak ilmu dan
pengalaman yang diperoleh selama kegiatan berlangsung.
TIdak jarang ia
selalu tersenyum mengingat masa itu, materi baris berbaris adalah satu-satunya
materi yang mampu membuatnya kewalahan. Iapun mengakui, dari dulu hingga sekarang,
ia tidak pernah tau bagaimana peraturan baris berbaris yang benar.
Masalahnya
adalah ia selalu salah dalam melakukan gerak langkah, ketika diberi aba-aba
untuk melangkah, harus dimulai dengan kaki kiri, secara otomatis harus diikuti
dengan ayunan tangan kanan, begitupun sebaliknya.
Lantaran sering
bingung, akibatnya ia selau salah dalam memulai langkahnya. Ia selalu bergerak menggunakan
kaki kiri dan tangan kiri sebagai pengikutnya, hingga akhirnya ia selalu
ditertawakan oleh kawan-kawannyakarena tidak sesuai kaidah dalam peraturan
baris berbaris.
Setelah masa orientasi
siswa selesai, maka siswa Madrasah yang hanya berjumlah tiga orang itu, kembali
bersekolah dan menempuh pendidikan pada tingkat pertama. Karena Madrasah Tsanawiah
Nadin Ulum Saparua belum memiliki gedung, akhirnya mereka meminjam gedung
Madrasah Ibtidaiyah Negri pada saat siang hingga sore hari.
Saat bersekolah
di Madrasah Tsanawiah Nadin Ulum Saparua, ia sangat terkesan dengan ungkapan
salah seorang gurunya, yang bernama Pak guru kapuale, bahwa beliau mengatakan
arti dari matematika itu adalah mata, telinga, dan kepala, ketika membahas
matermatika ketiga unsur itu harus saling berkolaborasi satu sama lain.
Ungkapan itu, ia masih ingat sehinggga ia merasa kagum dengan gurunya itu.
Di Madrasah
Tsanawiah Nadin Ulum Saparua, ia juga belajar bahasa arab barasanji. Adapun kenangan
yang sangat membekas didalam dirinya hingga saat ini adalah, ketika ia berjumpa
seorang wanita yang bernama Anawai, itulah cinta pada pendangan pertamanya, ia
pun mengakui kebersamaan yang terjalin sangat menyita hati dan perasaannya
walaupun dapa akhirnya ia memutuskan untuk berhenti di Madrasah Tsanawiah Nadin
Ulum Saparua
Saat itu ia merasa
harapannya telah putus Karena tidak dapat melanjutkan pendidikan di tingkat
pertama, karena hanya tinggal sendiri yang bersekolah, kedua rekannya itu sudah
tidak bersekola lagi.
Namun didalam
hatinya berkata suatu kelak ia akan kembali menempuh pendidikan lagi. Ketika
itu, ia menghiasai masa menggagurnya dengan menjerat burung maleo dihutan,
lantaran keseringan di hutan akhirnya ia terkena penyakit malaria yang pada
saat itu, sempat membuatnya kewalahan.
Program
transmigrasi spontan yang diikuti keluarganya, memberikan fasilitas rumah dan
tanah 2 hektar untuk dikelola menjadi kebun ataupun sawah. Ditanahlah itulah ia
berusaha menaman banyak tanaman jangka panjang sepeti jambu, kelapa hibrida,
jambu biji, durian, hingga rambutan.
Tak putus asa,
iapun hijrah ke Kota Masohi untuk berjuang demi memperoleh uang. DIsana ia
tinggal bersama pamannya (saudara ayahnya). Karena sepupunya bekerja sebagai
supir maka untuk memenuhi kebutuhannya iapun membantu sepupunya dengan menjadi helper,
untuk memperoleh tambahan penghasilan.
Akhirnya tepat pada
tahun 1993 ia kembali melanjutkan pendidikan di SMP terbuka Waitibu, melalui seorang
bapak guru pamong yang bernama La Musi. Itupn atas arahan dan petunjung paman
La Sudin, yang prihatin melihat kondisinya. Akhrinya ia menempuh pendidikan di
SMP terbuka masohi namun kabar baiknya adalah ia langsung diterima dan masuk ke
kelas II.
Belajar di SMP
terbuka dilakukan secara bersama-sama. Dari kelas satu hingga kelas III mereka semua
belajar bersama dalam satu ruangan. Ia mengaku sangat senang menempuh
pendidikan di SMP terbuka. Mereka diberi fasilitas berupa buku tulis dan buku
bacaan yang diberika secara gratis untuk dijadika sebagai referensi.
Selama
bersekolah di SMP terbuka Waitibu, ia sangat rajin belajar walaupun Gedung
sekolahnya masih menggunakan gedung pinjaman
dari gedung SD Impres Waitibu, ia tidak
pernah menyianyiakan waktunya. Ketika pagi hari ia membantu neneknya di kebun dan
pada saat siang sampe sore hari ia kesekolah begitu seterusnya.
Setiap
akhri semester, semua siswa SMP Terbuka di kumpulkan di kantor pusat yang
bermarkas di SMP Negri Kairatu. Ketika semester akhir, iapun akhirnya memiliki
buku raport yang didalamnya telah berisikan daftar nilai kelas 2 sedangkan lembaran
sebelumnya seharusnya berisi daftar nilai kelas 1 menadi kosong.
Ia selalu bangga
ketika bersekolahh di SMP Terbuka, karena ia termaksud siswa berprestasi.
Hingga pada akhirnya ia menamatkan pendidikannya di SMP terbuka dan berhasil
menyabat predikat siswa terbaik. Setelah selesai menempuh pendidikan tinggat
pertama di SMP Terbuka, maka sudah waktunya melanjutkan kejenjang berikutnya